Selasa, 20 Januari 2015

Tingkeban dalam Adat Jawa dan Agama Buddha

Mungkin sudah tidak asing lagi bagi semua orang khusunya masyarakat jawa. Siapa yang tidak tahu dengan kata tujuh bulan kandungan atau dalam bahasa jawa banyak orang yang menyebutnya dengan kata “Tingkeban” atau “Mitoni”. Pasti banyak orang yang telah mengetahui tentang tingkeban itu sendiri. Namun sebenarnya apakah tingkeban itu yang sesungguhnya?.  Ya tingkeban adalah salah satu tradisi atau kebudayaan turun temurun yang ada di Indonesia dengan adat masing-masing dari daerahnya. Tingkeban atau mitoni berasal dari kata pitu yang berarti tujuh, di mana pada usia kehamilan ke tujuh bulan dan pada kehamilan yang pertaman kali tradisi mitoni ini di lakukan. Makna dari tradisi ini adalah pendidikan, bukan saja setelah dewasa namun ketika sudah ada benih yang tertanam di dalam rahim seorang ibu itu sendiri.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama seperti tanggal 3,5,7,9,13, atau 15 bulan jawa, dan dilaksanakan di kiri atau di kanan rumah yang menghadap kearah matahari terbit. Hakekat yang mendasar dari tradisi tingkeban ini yaitu suatu ungkapan syukur serta permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan ketentraman, dan biasanya diungkapkan dalam bentuk lambang yang memiliki makna tersendiri.
Konon ceritanya tingkeban berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb yang merupakan istri dari Ki Sedya, yang mempunyai 9 orang anak, namun  dari ke-9 anaknya tersebut meninggal dunia pada usia dini. Berbagai usaha telah dijalani namun tidak membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan dirinya untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya. Kemudian Kanjeng Jayabaya memberi nasihat agar menjalani beberapa ritual. Sebagai syarat utama, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada (menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyuk dan senantiasa berbuat baik welas asih kepada sesama). Selain itu juga harus mensucikan diri dengan mandi menggunakan air suci yang berasal dari 7 sumber air dan berpasrah diri lahir batin serta memohon kepada Gusti Allah untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi.
Kemudian tidak lupa juga menyertakan sesaji seperti takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda. Setelah melalui serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Kanjeng Suwun Jayabaya , akhirnya Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Kemudian untuk mengingat nama Niken Satingkeb yang telah melewati serangkaian ritual yang telah ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang maka diberi nama dengan Tingkeban, dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dengan dewasa.
Selain tingkeban masih terdapat tiga tradisi lagi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung yaitu tradisi Neloni (tiga bulan dari masa mengandung), Tingkeban atau Rujakan (enam bulan dari masa kehamilan), dan Procotan (delapan bulan dari masa kehamilan). Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketiga tradisi ini diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu yaitu Tingkeban. Walupun diringkas secara pelaksanaannya, tetapi ubo rampea atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap harus disediakan. Piranti itu sendiri seperti takir plontang, jajanan pasar, berbagai macam jenang, buah, kembang setaman, mayang, janur, daun dadap, daun beringin, dan masih banyak lagi piranti lainnya. Sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon dari orang tua bayi harus menentukan hari yang baik sesuai dengan itungan jawa. Menurut itungan jawa, hari yang baik itu yang memiliki neptu genap yang jumlahnya 12 atau 16.
Upacara ini dimulai dengan acara kenduri yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti neloni dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan, para sesepuh desa menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara ini dan menjelaskan makna satuper satu dari makanan yang di hidangkan. Dengan sautan dari para undangan yaitu dengan kata “nggeh” disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh para sesepuh, maka satuper satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama selesai, maka menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban ini yang penulis anggap paling sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarik batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabit besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat (suami-istri) masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jarik yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk diucapkan oleh shohibul hajat. Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang. Sesampainya didepan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain calon nenek menumbuk bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda.  Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan kepada para undangan. Tak lama berselang dari prosesi inti maka langsung melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi neloni, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh desa dengan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.
Adapun rangkaian dalam acara tingkeban diantaranya:
1.      Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2.      Sungkeman yang dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada orangtuanya.
3.      Siraman
       Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan dilakukan oleh 7 orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu di pakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4.      Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Sedangkan busana yang ke-7 melambangkan bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang bersifat keduniawian dan lebih baik berpenampilan bersahaja.
5.      Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.
6.      Brojolan
Dalam acara brojolan ini, 2 buah kelapa gading muda yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7.      Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan. Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8.      Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Agama Buddha sebenarnya terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama adalah pelajaran kebenaran yang diberikan oleh Sang Buddha Gotama yang disebut Buddha Dhamma. Bagian kedua adalah tradisi yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Apabila berbicara tentang relevansi Agama Buddha dalam menghadapi kemajuan zaman, hendaknya dapat membatasi diri membicarakan tentang Buddha Dhamma, bukan tentang tradisi. Tradisi dapat berlainan dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Membahas masalah tradisi tidak akan menemui titik terang. Masing-masing akan mempertahankan pendapatnya.
Padahal, kebenaran Dhamma bukan pada tradisi itu. Pembahasan Buddha Dhamma, di mana pun juga, oleh siapa pun juga, hasilnya akan dan harus tetap sama. Hal paling pokok dalam Buddha Dhamma atau Ajaran Sang Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia. Bila Buddha Dhamma diibaratkan suatu sistem pendidikan tingkat perguruan tinggi maka Empat Kesunyataan Mulia adalah kurikulum dasarnya. Hal ini dapat terjadi karena selama Sang Buddha mengajarkan Dhamma sampai 45 tahun lamanya, pokok ajaran Beliau selalu sama, Empat Kesunyataan Mulia. Hingga saat inipun pokok pelajaran Agama Buddha tetap dan berlaku universal. Bahkan dimasa yang akan datangpun juga sama. Sampai munculnya Buddha yang akan datangpun pasti akan mengajarkan hal yang sama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu dapat dijadikan tolak ukur untuk membedakan Agama Buddha dengan berbagai macam tradisi.
Dalam Agama Buddha upacara untuk memperingati tujuh bulan kandungan biasanya mengundang warga setempat untuk menghadiri upacara atau selamatan tujuh bulan kandungan. Dalam peringatan tersebut keluarga menyiapkan tumpeng sebagai syarat upacara tujuh bulan kandungan, setelah selesai upacara tersebut biasanya tuan rumah yang mengadakan peringatan mengundang umat-umat dari vihara lain dan mengundang umat sekitar yang beragama Buddhis untuk membacakan doa atau parita suci. Dalam upacara tujuh bulanan tersebut biasanya mengundang Bhikkhu untuk meberi doa, setelah selesai membacakan doa atau parita-parita suci biasanya umat diberi makanan ringan dan warga tersebut sambil berbincang-bincang sambil makan yang telah di sediakan oleh tuan rumah.
Parita yang dibacakan dalam upacara memperingati tujuh bulan kandungan seperti: Pubbabhaganamakara, Tisarana, Buddhanussati, Dhammanusati, Sanghanussati, Saccakiriya Gatha, Abhaya Paritta atau Pattumo dana Paritta, Sumangala Gatha II (parita memercikan air pemberkahan).
Jadi upacara untuk memperingati tujuh bulan kandungan ialah agar bayi yang berada di dalam kandungan diberi keselamatan, agar bayi dan ibunya sehat dan tidak ada halangan apa pun dalam mengandung. Di dalam pelaksanaan upacara tersebut dibuatkan tumpeng  dan tumpengtersebut di beri doa dan dibagikan ke warga sekitar yang telah diundang untuk menghadiri upacara tujuh bulan kandungan. Dalam agama Buddha tidak ada larangan dalam tradisi karena merupakan adat dari masing-masing setiap suku.



Referensi
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta:Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama

1 komentar: