Mungkin sudah tidak asing
lagi bagi semua orang khusunya masyarakat jawa. Siapa yang tidak tahu dengan
kata tujuh bulan kandungan atau dalam bahasa jawa banyak orang yang menyebutnya
dengan kata “Tingkeban” atau “Mitoni”. Pasti banyak orang yang telah mengetahui
tentang tingkeban itu sendiri. Namun sebenarnya apakah tingkeban itu yang
sesungguhnya?. Ya tingkeban adalah salah
satu tradisi atau kebudayaan turun temurun yang ada di Indonesia dengan adat
masing-masing dari daerahnya. Tingkeban atau mitoni berasal dari kata pitu yang
berarti tujuh, di mana pada usia kehamilan ke tujuh bulan dan pada kehamilan
yang pertaman kali tradisi mitoni ini di lakukan. Makna dari tradisi ini adalah
pendidikan, bukan saja setelah dewasa namun ketika sudah ada benih yang tertanam
di dalam rahim seorang ibu itu sendiri.
Tradisi ini biasanya dilakukan
pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama seperti tanggal 3,5,7,9,13, atau 15
bulan jawa, dan dilaksanakan di kiri atau di kanan rumah yang menghadap kearah
matahari terbit. Hakekat yang mendasar dari tradisi tingkeban ini yaitu suatu
ungkapan syukur serta permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan
ketentraman, dan biasanya diungkapkan dalam bentuk lambang yang memiliki makna
tersendiri.
Konon ceritanya tingkeban
berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb yang merupakan istri
dari Ki Sedya, yang mempunyai 9 orang anak, namun dari ke-9 anaknya tersebut meninggal dunia
pada usia dini. Berbagai usaha telah dijalani namun tidak membuahkan hasil.
Hingga suatu saat mereka memberanikan dirinya untuk menghadap kepada Kanjeng
Sinuwun Jayabaya. Kemudian Kanjeng Jayabaya memberi nasihat agar menjalani
beberapa ritual. Sebagai syarat utama, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada
(menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyuk dan senantiasa berbuat baik welas
asih kepada sesama). Selain itu juga harus mensucikan diri dengan mandi
menggunakan air suci yang berasal dari 7 sumber air dan berpasrah diri lahir
batin serta memohon kepada Gusti Allah untuk kesehatan dan kesejahteraan si
bayi.
Kemudian tidak lupa juga
menyertakan sesaji seperti takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading
yang masih muda. Setelah melalui serangkaian ritual yang dianjurkan oleh
Kanjeng Suwun Jayabaya , akhirnya Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat
momongan yang sehat dan berumur panjang. Kemudian untuk mengingat nama Niken
Satingkeb yang telah melewati serangkaian ritual yang telah ditiru oleh para
generasi selanjutnya hingga sekarang maka diberi nama dengan Tingkeban, dengan
harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan,
hingga si anak tumbuh dengan dewasa.
Selain tingkeban masih
terdapat tiga tradisi lagi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung yaitu
tradisi Neloni (tiga bulan dari masa mengandung), Tingkeban atau Rujakan (enam
bulan dari masa kehamilan), dan Procotan (delapan bulan dari masa kehamilan).
Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketiga tradisi ini diringkas secara
pelaksanaannya menjadi satu yaitu Tingkeban. Walupun diringkas secara
pelaksanaannya, tetapi ubo rampea atau piranti yang harus disiapkan dari
tiap-tiap ritual tetap harus disediakan. Piranti itu sendiri seperti takir
plontang, jajanan pasar, berbagai macam jenang, buah, kembang setaman, mayang,
janur, daun dadap, daun beringin, dan masih banyak lagi piranti lainnya. Sebelum
usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon dari orang tua bayi harus menentukan
hari yang baik sesuai dengan itungan jawa. Menurut itungan jawa, hari yang baik
itu yang memiliki neptu genap yang jumlahnya 12 atau 16.
Upacara ini dimulai dengan
acara kenduri yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain.
Semua piranti neloni dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti
dihidangkan, para sesepuh desa menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya
upacara ini dan menjelaskan makna satuper satu dari makanan yang di hidangkan.
Dengan sautan dari para undangan yaitu dengan kata “nggeh” disetiap akhir
kalimat yang diucapkan oleh para sesepuh, maka satuper satu makanan yang
dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang
terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah
tersedia.
Selesai upacara yang
pertama selesai, maka menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban.
Prosesi tingkeban ini yang penulis anggap paling sakral karena mulai dari hari
sampai jam pelaksanaanya ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Sebelum acara
dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarik batik di tengah rumah
shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabit besar
diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah
telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah
semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat (suami-istri)
masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jarik yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca
beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk diucapkan oleh shohibul
hajat. Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur
mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya
Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut
keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang.
Sesampainya didepan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit yang
dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara
brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari
Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut
calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan
mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain calon nenek
menumbuk bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir
dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui
pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti
busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik
dengan motif yang berbeda. Ibu akan
memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki
kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Bumbu rujak yang telah
dihaluskan oleh calon nenek tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera
dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan kepada para undangan. Tak
lama berselang dari prosesi inti maka langsung melanjutkan prosesi terakhir
yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi neloni,
yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh
desa dengan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat sesepuh tersebut
dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan
hidangan yang ada.
Adapun rangkaian dalam acara tingkeban
diantaranya:
1. Pembacaan
Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
yang dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada
orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari
7 sumber dan dilakukan oleh 7 orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk
siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya
diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu di pakaikan kain 7 warna, yang
melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam
kandungan.
4. Pantes-pantes
(Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu
dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke
enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Sedangkan
busana yang ke-7 melambangkan bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak
memikirkan hal yang bersifat keduniawian dan lebih baik berpenampilan
bersahaja.
5. Tigas
Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya
(dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong oleh calon
ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi.
Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak
bala.
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, 2 buah kelapa
gading muda yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara
Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui
perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini
adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh
wayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain
yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang
mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup
bulan. Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan
“Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8. Dhahar
Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon
ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas
makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah
supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh
dengan sehat.Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun
tradisional) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi
kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Agama Buddha sebenarnya
terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama adalah pelajaran kebenaran yang
diberikan oleh Sang Buddha Gotama yang disebut Buddha Dhamma. Bagian kedua
adalah tradisi yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Apabila berbicara
tentang relevansi Agama Buddha dalam menghadapi kemajuan zaman, hendaknya dapat
membatasi diri membicarakan tentang Buddha Dhamma, bukan tentang tradisi.
Tradisi dapat berlainan dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya. Membahas masalah tradisi tidak akan menemui titik terang.
Masing-masing akan mempertahankan pendapatnya.
Padahal, kebenaran Dhamma
bukan pada tradisi itu. Pembahasan Buddha Dhamma, di mana pun juga, oleh siapa
pun juga, hasilnya akan dan harus tetap sama. Hal paling pokok dalam Buddha
Dhamma atau Ajaran Sang Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia. Bila Buddha
Dhamma diibaratkan suatu sistem pendidikan tingkat perguruan tinggi maka Empat Kesunyataan
Mulia adalah kurikulum dasarnya. Hal ini dapat terjadi karena selama Sang
Buddha mengajarkan Dhamma sampai 45 tahun lamanya, pokok ajaran Beliau selalu
sama, Empat Kesunyataan Mulia. Hingga saat inipun pokok pelajaran Agama Buddha
tetap dan berlaku universal. Bahkan dimasa yang akan datangpun juga sama.
Sampai munculnya Buddha yang akan datangpun pasti akan mengajarkan hal yang
sama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu dapat
dijadikan tolak ukur untuk membedakan Agama Buddha dengan berbagai macam
tradisi.
Dalam Agama Buddha upacara
untuk memperingati tujuh bulan kandungan biasanya mengundang warga setempat
untuk menghadiri upacara atau selamatan tujuh bulan kandungan. Dalam peringatan
tersebut keluarga menyiapkan tumpeng sebagai syarat upacara tujuh bulan
kandungan, setelah selesai upacara tersebut biasanya tuan rumah yang mengadakan
peringatan mengundang umat-umat dari vihara lain dan mengundang umat sekitar
yang beragama Buddhis untuk membacakan doa atau parita suci. Dalam upacara
tujuh bulanan tersebut biasanya mengundang Bhikkhu untuk meberi doa, setelah
selesai membacakan doa atau parita-parita suci biasanya umat diberi makanan
ringan dan warga tersebut sambil berbincang-bincang sambil makan yang telah di
sediakan oleh tuan rumah.
Parita yang dibacakan
dalam upacara memperingati tujuh bulan kandungan seperti: Pubbabhaganamakara, Tisarana, Buddhanussati, Dhammanusati,
Sanghanussati, Saccakiriya Gatha, Abhaya Paritta atau Pattumo dana Paritta,
Sumangala Gatha II (parita memercikan air pemberkahan).
Jadi upacara untuk
memperingati tujuh bulan kandungan ialah agar bayi yang berada di dalam
kandungan diberi keselamatan, agar bayi dan ibunya sehat dan tidak ada halangan
apa pun dalam mengandung. Di dalam pelaksanaan upacara tersebut dibuatkan
tumpeng dan tumpengtersebut di beri doa
dan dibagikan ke warga sekitar yang telah diundang untuk menghadiri upacara
tujuh bulan kandungan. Dalam agama Buddha tidak ada larangan dalam tradisi
karena merupakan adat dari masing-masing setiap suku.
Referensi
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna.
Yogyakarta:Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
Gunasasmita. Kitab
Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009
Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama
Artikel yang keren Lanjutkan terus kreasinya
BalasHapusMampir Info Unik