Selasa, 20 Januari 2015

Kehidupanku yang Penuh Perjuangan

Sejak kecil aku sudah diajarkan oleh ibu ku untuk hidup keras, dimana aku sudah tidak memiliki seorang ayah. Ibu ku mengajarkan ku betapa kerasnya kehidupan di dunia ini. Sampai saat ini ibuku bekerja banting tulang siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan ku. Sungguh aku sangat terkesima sekali melihat perjuangan ibuku yang sangat luar biasa. Dari aku kecil ibuku sudah mengajak ku untuk sekedar melihatnya bekerja, namun pada saat itu aku belum bisa membantu ibu ku, namun aku hanya dapat melihat ibu ku bekerja dari pagi hingga sore. Terkadang aku ikut nenek pergi ke sawah meskipun hanya sekedar bermain di sawah, jika aku tidak ikut dengan ibu ku. Usia ku semakin bertambah dan akupun sudah duduk di bangku SMP. Pada saat aku duduk di bangku SMP jika aku sedang tidak sekolah terkadang aku membantu ibu ku bekerja. Namun aku selalu membantu nenek ku di sawah setelah pulang sekolah, dan aku pun sering pulang hingga malam untuk membantunya di sawah. Kegiatan disawah itu aku lakukan setiap hari jika kondisi badanku sehat. Selama 3 tahun juga aku melakukan kegiatan itu.  Tidak terasa sekarang aku duduk di bangku SMA, dimana aku sudah mulai bekerja sendiri untuk membantu ibu ku untuk membayar uang sekolah dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku sangat senang sekali karena dapat membantu ibu ku. Dan saat aku duduk di bangku SMA aku sangat mengerti betapa kejam dan kerasnya kehidupan di dunia ini dan aku pun merasakan betapa sulitnya untuk mencari selembar uang. Mungkin bagi orang di luaran sana mencari uang sangatlah mudah dan sangat mudah juga untuk menghabiskannya. Mungkin bagi dia yang tidak mempunyai kakak maupun adik dapat berfikirran bahwa ”tidak perlu bekerja keras, banting tulang karena aku adalah anak tunggal di mana nanti aku akan mewarisi semua harta kekayaan dari orangtuaku”. Orang yang berfikiran seperti itu sangatlah salah besar karena menjadi anak tunggal mempunyai tanggung jawab yang sangat besar juga, tidak seperti yang dibayangkan ataupun seperti yang ada di film-film. Namun bagiku selembar uang sangatlah berharga sekali meskipun itu nominalnya kecil. Jadi mulai sekarang syukuri apa yang ada, apa yang ada di dunia ini, menghargai dan memanfaatkan dengan baik apa yang telah di peroleh ataupun di capai, jangan sampai anda menyesalinya. Jalanilah kehidupan pada saat ini, lupakan masa lalu, dan jangan memikirkan masa yang akan datang yang belum tentu kepastiannya. J

Nyawa Sebagai Taruhan Kesuksesan

Perjuangan anak desa Grobokan, Jawa Timur sangat memprihatinkan. Dengan berpakaian seragam melintas dengan seutas tali. Berpijaran dan berpegangan pada tali yang melintas di atas sungai. Perasaan takut yang terbenak di dalam dirinya. Banjir bandang tidak mengurangi semangatnya untuk belajar.
            Kesuksesan belajarnya adalah awal untuk meraih cita-citanya. Melihat keadaan rumahnya yang membuat semangat belajarnya. Anak Grobokan tersebut rajin membantu keluarganya. Walaupun orang tuanya seorang petani ia sangat menghargainya. Berpenghasilan musiman yang ditunggu dan diharapkan, yang hanya cukup untuk makan dan sekolah yang keluar di setiap doanya. Ratap tangis yang melintas diwajahnya dan tetesan air mata yang membasahi pipinya.
            Merubah keadaan keluarga yang diimpikan anak Grobokan, untuk membahagiakan orangtuanya merupakan salah satu cita-citanya. Melihat orang tua bercucuran keringat yang memotivasinya dan ia berpikir betapa sulitnya mencari uang membuatnya semangat untuk belajar.  Berkeinginan merubah keadaan keluarga, nyawa sebagai taruhannya hidup anak Grobokan.
            Desa yang jauh dari keramaian membedakan pola pikir anak Grobokan. Ketenangan batin yang tertanam pada dirinya, keadaan banjir yang membuat risau pada dirinya. Hanyalah dukkha  mendalam yang ingin dihilangkan pada dirinya. Rasa trauma yang menyelimuti hidupnya.
            Semangat anak Grobokan dibuktikan dengan ketekunannya dalam belajar. Membantu orangtua menjadi prioritas ketika mempunyai waktu luang. Sedetik adalah waktu yang sangatlah berharga bagi anak Grobokan. Setiap pagi anak Grobokan selalu menyempatkan diri untuk belajar. Keadaan banjir tidak mengurangi sedikitpun semangat belajarnya. Anak Grobokan tidak pernah mengeluh dengan usahanya. 

Pengaruh Tokoh Kartun untuk Anak-anak

Siapa yang tak mengenal kartun?, semua orang pasti tau dan mungkin juga sangat menyukai kartun-kartun yang ada di televisi. Tidak hanya dikalangan anak-anak saja yang menyukai film kartun, dari yang bayi, muda bahkan sampai yang tuapun pasti menyukai berbagai macam film kartun. Menurut anda apakah kartun itu membawa dampak negatif ataukah positif???. Menurut sebagain orang, kartun adalah sebuah hiburan, tontonan yang menarik dimana jika diri anda sedang merasa jenuh pasti anda akan tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan kartun kesukaan anda. Mungkin bagi orang yang sudah dewasa mengganggap kartun hanya sebuah hiburan semata, namun taukah anda dampaknya terhadap anak kecil yang baru mengenal film kartun. Dari sekian banyak kartun tidak semua kartun membawa hal positif untuk anak kecil, justru malah kebalikannya. Contohnya saja film kartun Tom And Jerry dan Power Ranggers. Film kartun tersebut memang sangat asyik, lucu, menenggangkan, seru dan lai-lain. Namun itu semua dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan anak karena seorang anak akan meniru tingkah laku atau perbuatan dari film kartun yang di favoritkan. Misalnya suka berkelahi dengan temannya akibat meniru dari film kartun Power Ranggers. Kemudian suka  usil, jail, suka ngledekin temannya, dan lain sebagainya yang meniru dari tokoh kartun Tom And Jerry. Lalu bagaimana pendapat orangtua yang melihat anaknya seperti itu, melarangnya kah untuk menyaksikan film kartun, atau dengan cara yang lainnya???. Mungkin disini orangtua harus bertindak agar anaknya tidak meniru perbuatan yang tidak baik akibat meniru tokoh kartun kesukaannya. Orangtua harus mengawasi anaknya dalam menonton film, tidak hanya film kartun saja tapi film yang lainnya juga. Orangtua juga harus memberikan didikan yang baik, menunjukkan ini yang baik dan itu yang buruk, sehingga anak menjadi tau bahwa itu perbuatan baik dan buruk.

Kumpulan kata mengenai persahabatan

Sahabat bukan mereka yang menghampirimu ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu ketika seluruh dunia menjauh.

Tak ada yang sempurna, sahabatpun pernah berbuat salah, tapi kamu selalu temukan sebuah alasan tuk maafkan mereka.

“Sahabat yang baik adalah orang yang sangat kita percayai dan membuat kita tenang bersamanya. Dia menjadi tempat berbagi kelelahan, berbagi kesedihan dan tidak pernah menjual rahasia diri kita”

Siapa yang ingin bersama kamu pada saat tiada satupun yang dapat kamu berikan??. Merekalah sahabat-sahabat kamu.

“Sahabat adalah dia yang tahu kekuranganmu, tapi menunjukkan kelebihanmu. Dia yang tahu ketakutanmu, tapi menunjukkan keberanianmu.”

“Sesuatu yang baik, belum tentu benar. Sesuatu yang benar, belum tentu baik. Sesuatu yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga atau berguna, belum tentu bagus.”

“Sahabat selalu ada untukmu, ketika kamu punya masalah. Bahkan terkadang memberi saran yang bodoh hanya tuk lihat kamu tertawa.”


 “Teman itu seperti bintang tak selalu nampak tapi selalu ada dihati, Sahabat akan selalu menghampiri ketika seluruh dunia menjauh Karena persahabatan itu seperti tangan dengan mata Saat tangan terluka, mata menangis Saat mata menangis, tangan menghapusnya”

Suku Mentawai

Di provinsi Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak keunikan yaitu Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari satu suku dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa suku. Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang kurang lebih 100 km.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon, arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai banyak yang tinggal di daerah kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besa. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah panjang Uma mencapai hingga 25 m dan lebarnya berkisar 10 m. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat.
Menurut agama tradisional Mentawai yaitu Arat Sabulungan (arat berarti adat sedangkan sabulungan berarti bulu) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Upacara agama dikenal dengan sebagai punen, puliaijat dimana harus dilakukan secara bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian. Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun. 
Bagaimanapun juga, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan, ini terlihat dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai yang para lelakinya mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang.  Sedangkan untuk para wanita, mereka menutup tubuh bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju.
Kemudian hukum adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan dimana masyarakat Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin bahwa lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang dan membangun sebuah uma maka biasanya mereka melakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan atau upacara.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.

Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri. Dalam berladang, khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga menggunakan peralatan-peralatan tertentu.  Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara buruan. Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.

Tingkeban dalam Adat Jawa dan Agama Buddha

Mungkin sudah tidak asing lagi bagi semua orang khusunya masyarakat jawa. Siapa yang tidak tahu dengan kata tujuh bulan kandungan atau dalam bahasa jawa banyak orang yang menyebutnya dengan kata “Tingkeban” atau “Mitoni”. Pasti banyak orang yang telah mengetahui tentang tingkeban itu sendiri. Namun sebenarnya apakah tingkeban itu yang sesungguhnya?.  Ya tingkeban adalah salah satu tradisi atau kebudayaan turun temurun yang ada di Indonesia dengan adat masing-masing dari daerahnya. Tingkeban atau mitoni berasal dari kata pitu yang berarti tujuh, di mana pada usia kehamilan ke tujuh bulan dan pada kehamilan yang pertaman kali tradisi mitoni ini di lakukan. Makna dari tradisi ini adalah pendidikan, bukan saja setelah dewasa namun ketika sudah ada benih yang tertanam di dalam rahim seorang ibu itu sendiri.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama seperti tanggal 3,5,7,9,13, atau 15 bulan jawa, dan dilaksanakan di kiri atau di kanan rumah yang menghadap kearah matahari terbit. Hakekat yang mendasar dari tradisi tingkeban ini yaitu suatu ungkapan syukur serta permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan ketentraman, dan biasanya diungkapkan dalam bentuk lambang yang memiliki makna tersendiri.
Konon ceritanya tingkeban berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb yang merupakan istri dari Ki Sedya, yang mempunyai 9 orang anak, namun  dari ke-9 anaknya tersebut meninggal dunia pada usia dini. Berbagai usaha telah dijalani namun tidak membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan dirinya untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya. Kemudian Kanjeng Jayabaya memberi nasihat agar menjalani beberapa ritual. Sebagai syarat utama, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada (menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyuk dan senantiasa berbuat baik welas asih kepada sesama). Selain itu juga harus mensucikan diri dengan mandi menggunakan air suci yang berasal dari 7 sumber air dan berpasrah diri lahir batin serta memohon kepada Gusti Allah untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi.
Kemudian tidak lupa juga menyertakan sesaji seperti takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda. Setelah melalui serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Kanjeng Suwun Jayabaya , akhirnya Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Kemudian untuk mengingat nama Niken Satingkeb yang telah melewati serangkaian ritual yang telah ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang maka diberi nama dengan Tingkeban, dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dengan dewasa.
Selain tingkeban masih terdapat tiga tradisi lagi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung yaitu tradisi Neloni (tiga bulan dari masa mengandung), Tingkeban atau Rujakan (enam bulan dari masa kehamilan), dan Procotan (delapan bulan dari masa kehamilan). Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketiga tradisi ini diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu yaitu Tingkeban. Walupun diringkas secara pelaksanaannya, tetapi ubo rampea atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap harus disediakan. Piranti itu sendiri seperti takir plontang, jajanan pasar, berbagai macam jenang, buah, kembang setaman, mayang, janur, daun dadap, daun beringin, dan masih banyak lagi piranti lainnya. Sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon dari orang tua bayi harus menentukan hari yang baik sesuai dengan itungan jawa. Menurut itungan jawa, hari yang baik itu yang memiliki neptu genap yang jumlahnya 12 atau 16.
Upacara ini dimulai dengan acara kenduri yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti neloni dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan, para sesepuh desa menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara ini dan menjelaskan makna satuper satu dari makanan yang di hidangkan. Dengan sautan dari para undangan yaitu dengan kata “nggeh” disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh para sesepuh, maka satuper satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama selesai, maka menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban ini yang penulis anggap paling sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarik batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabit besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat (suami-istri) masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jarik yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk diucapkan oleh shohibul hajat. Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang. Sesampainya didepan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain calon nenek menumbuk bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda.  Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan kepada para undangan. Tak lama berselang dari prosesi inti maka langsung melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi neloni, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh desa dengan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.
Adapun rangkaian dalam acara tingkeban diantaranya:
1.      Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2.      Sungkeman yang dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada orangtuanya.
3.      Siraman
       Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan dilakukan oleh 7 orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu di pakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4.      Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Sedangkan busana yang ke-7 melambangkan bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang bersifat keduniawian dan lebih baik berpenampilan bersahaja.
5.      Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.
6.      Brojolan
Dalam acara brojolan ini, 2 buah kelapa gading muda yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7.      Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan. Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8.      Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Agama Buddha sebenarnya terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama adalah pelajaran kebenaran yang diberikan oleh Sang Buddha Gotama yang disebut Buddha Dhamma. Bagian kedua adalah tradisi yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Apabila berbicara tentang relevansi Agama Buddha dalam menghadapi kemajuan zaman, hendaknya dapat membatasi diri membicarakan tentang Buddha Dhamma, bukan tentang tradisi. Tradisi dapat berlainan dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Membahas masalah tradisi tidak akan menemui titik terang. Masing-masing akan mempertahankan pendapatnya.
Padahal, kebenaran Dhamma bukan pada tradisi itu. Pembahasan Buddha Dhamma, di mana pun juga, oleh siapa pun juga, hasilnya akan dan harus tetap sama. Hal paling pokok dalam Buddha Dhamma atau Ajaran Sang Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia. Bila Buddha Dhamma diibaratkan suatu sistem pendidikan tingkat perguruan tinggi maka Empat Kesunyataan Mulia adalah kurikulum dasarnya. Hal ini dapat terjadi karena selama Sang Buddha mengajarkan Dhamma sampai 45 tahun lamanya, pokok ajaran Beliau selalu sama, Empat Kesunyataan Mulia. Hingga saat inipun pokok pelajaran Agama Buddha tetap dan berlaku universal. Bahkan dimasa yang akan datangpun juga sama. Sampai munculnya Buddha yang akan datangpun pasti akan mengajarkan hal yang sama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu dapat dijadikan tolak ukur untuk membedakan Agama Buddha dengan berbagai macam tradisi.
Dalam Agama Buddha upacara untuk memperingati tujuh bulan kandungan biasanya mengundang warga setempat untuk menghadiri upacara atau selamatan tujuh bulan kandungan. Dalam peringatan tersebut keluarga menyiapkan tumpeng sebagai syarat upacara tujuh bulan kandungan, setelah selesai upacara tersebut biasanya tuan rumah yang mengadakan peringatan mengundang umat-umat dari vihara lain dan mengundang umat sekitar yang beragama Buddhis untuk membacakan doa atau parita suci. Dalam upacara tujuh bulanan tersebut biasanya mengundang Bhikkhu untuk meberi doa, setelah selesai membacakan doa atau parita-parita suci biasanya umat diberi makanan ringan dan warga tersebut sambil berbincang-bincang sambil makan yang telah di sediakan oleh tuan rumah.
Parita yang dibacakan dalam upacara memperingati tujuh bulan kandungan seperti: Pubbabhaganamakara, Tisarana, Buddhanussati, Dhammanusati, Sanghanussati, Saccakiriya Gatha, Abhaya Paritta atau Pattumo dana Paritta, Sumangala Gatha II (parita memercikan air pemberkahan).
Jadi upacara untuk memperingati tujuh bulan kandungan ialah agar bayi yang berada di dalam kandungan diberi keselamatan, agar bayi dan ibunya sehat dan tidak ada halangan apa pun dalam mengandung. Di dalam pelaksanaan upacara tersebut dibuatkan tumpeng  dan tumpengtersebut di beri doa dan dibagikan ke warga sekitar yang telah diundang untuk menghadiri upacara tujuh bulan kandungan. Dalam agama Buddha tidak ada larangan dalam tradisi karena merupakan adat dari masing-masing setiap suku.



Referensi
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta:Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009

Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama

Minggu, 18 Januari 2015

Gue Sadar ini Vipaka

Manusia itu pasti tak luput dari yang namanya dosa, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan baik itu kesalahan besar ataupun kesalahan kecil, masalah besar atau kecil pasti akan menghasilkan suatu hasil yang akan di dapat entah itu pada kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang. Contohnya ajha ya kayak gue ini lah, mungkin ini semua adalah hanya bagian dari hasil perbuatan gue yang udah pernah gue lakuin entah itu di kehidupan masa lalu atau di kehidupan sekarang ini. Sejujurnya gue udah nggak betah dan nggak tahan ngadepiin semua masalah ini yang datang bertubi-tubi tapi ya mau gimana lagi gue nggak bisa lari dan ngehindar dari masalah ini, cukup dengan menyadarinya saja dan anggep ajha ini adalah jalan buat menuju kesuksesan dan kedewasaan buat diri gue. Awal mulanya gua sangat benci dengan ini semua, kenapa ini semua harus terjadi sama gue, gue nggak bisa trima ini semua, yang sampe pada akhirnya gua sadar bahwa ini adalah bagian dari vipaka gue. Gue kenal apa itu vipaka sejak gue blajar mendalami agama Buddha itu sendiri. Sebelumnya gue nggak ngerti tentang itu semua, yang gue lakuin dulu adalah gue nggak bisa trima akan semua ini. Mungkin bagi loe semua yang menyalahkan keadaan loe saat ini adalah salah besar karna keadaan yang saat ini sedang dijalani merupakan bagian dari vipaka atau hasil dari perbuatan baik di masa lalu maupun masa sekarang. :)