Sejak
kecil aku sudah diajarkan oleh ibu ku untuk hidup keras, dimana aku sudah tidak
memiliki seorang ayah. Ibu ku mengajarkan ku betapa kerasnya kehidupan di dunia
ini. Sampai saat ini ibuku bekerja banting tulang siang dan malam untuk
memenuhi kebutuhan ku. Sungguh aku sangat terkesima sekali melihat perjuangan
ibuku yang sangat luar biasa. Dari aku kecil ibuku sudah mengajak ku untuk
sekedar melihatnya bekerja, namun pada saat itu aku belum bisa membantu ibu ku,
namun aku hanya dapat melihat ibu ku bekerja dari pagi hingga sore. Terkadang
aku ikut nenek pergi ke sawah meskipun hanya sekedar bermain di sawah, jika aku
tidak ikut dengan ibu ku. Usia ku semakin bertambah dan akupun sudah duduk di
bangku SMP. Pada saat aku duduk di bangku SMP jika aku sedang tidak sekolah
terkadang aku membantu ibu ku bekerja. Namun aku selalu membantu nenek ku di
sawah setelah pulang sekolah, dan aku pun sering pulang hingga malam untuk
membantunya di sawah. Kegiatan disawah itu aku lakukan setiap hari jika kondisi
badanku sehat. Selama 3 tahun juga aku melakukan kegiatan itu. Tidak terasa sekarang aku duduk di bangku SMA,
dimana aku sudah mulai bekerja sendiri untuk membantu ibu ku untuk membayar
uang sekolah dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku sangat senang
sekali karena dapat membantu ibu ku. Dan saat aku duduk di bangku SMA aku
sangat mengerti betapa kejam dan kerasnya kehidupan di dunia ini dan aku pun
merasakan betapa sulitnya untuk mencari selembar uang. Mungkin bagi orang di
luaran sana mencari uang sangatlah mudah dan sangat mudah juga untuk
menghabiskannya. Mungkin bagi dia yang tidak mempunyai kakak maupun adik dapat
berfikirran bahwa ”tidak perlu bekerja keras, banting tulang karena aku adalah
anak tunggal di mana nanti aku akan mewarisi semua harta kekayaan dari
orangtuaku”. Orang yang berfikiran seperti itu sangatlah salah besar karena
menjadi anak tunggal mempunyai tanggung jawab yang sangat besar juga, tidak
seperti yang dibayangkan ataupun seperti yang ada di film-film. Namun bagiku
selembar uang sangatlah berharga sekali meskipun itu nominalnya kecil. Jadi
mulai sekarang syukuri apa yang ada, apa yang ada di dunia ini, menghargai dan
memanfaatkan dengan baik apa yang telah di peroleh ataupun di capai, jangan
sampai anda menyesalinya. Jalanilah kehidupan pada saat ini, lupakan masa lalu,
dan jangan memikirkan masa yang akan datang yang belum tentu kepastiannya. J
artikel
Selasa, 20 Januari 2015
Nyawa Sebagai Taruhan Kesuksesan
Perjuangan anak desa
Grobokan, Jawa Timur sangat memprihatinkan. Dengan berpakaian seragam melintas
dengan seutas tali. Berpijaran dan berpegangan pada tali yang melintas di atas
sungai. Perasaan takut yang terbenak di dalam dirinya. Banjir bandang tidak
mengurangi semangatnya untuk belajar.
Kesuksesan
belajarnya adalah awal untuk meraih cita-citanya. Melihat keadaan rumahnya yang
membuat semangat belajarnya. Anak Grobokan tersebut rajin membantu keluarganya.
Walaupun orang tuanya seorang petani ia sangat menghargainya. Berpenghasilan
musiman yang ditunggu dan diharapkan, yang hanya cukup untuk makan dan sekolah
yang keluar di setiap doanya. Ratap tangis yang melintas diwajahnya dan tetesan
air mata yang membasahi pipinya.
Merubah
keadaan keluarga yang diimpikan anak Grobokan, untuk membahagiakan orangtuanya
merupakan salah satu cita-citanya. Melihat orang tua bercucuran keringat yang
memotivasinya dan ia berpikir betapa sulitnya mencari uang membuatnya semangat
untuk belajar. Berkeinginan merubah
keadaan keluarga, nyawa sebagai taruhannya hidup anak Grobokan.
Desa
yang jauh dari keramaian membedakan pola pikir anak Grobokan. Ketenangan batin
yang tertanam pada dirinya, keadaan banjir yang membuat risau pada dirinya.
Hanyalah dukkha mendalam yang ingin
dihilangkan pada dirinya. Rasa trauma yang menyelimuti hidupnya.
Semangat
anak Grobokan dibuktikan dengan ketekunannya dalam belajar. Membantu orangtua menjadi
prioritas ketika mempunyai waktu luang. Sedetik adalah waktu yang sangatlah berharga
bagi anak Grobokan. Setiap pagi anak Grobokan selalu menyempatkan diri untuk
belajar. Keadaan banjir tidak mengurangi sedikitpun semangat belajarnya. Anak Grobokan
tidak pernah mengeluh dengan usahanya.
Pengaruh Tokoh Kartun untuk Anak-anak
Siapa yang
tak mengenal kartun?, semua orang pasti tau dan mungkin juga sangat menyukai
kartun-kartun yang ada di televisi. Tidak hanya dikalangan anak-anak saja yang
menyukai film kartun, dari yang bayi, muda bahkan sampai yang tuapun pasti
menyukai berbagai macam film kartun. Menurut anda apakah kartun itu membawa
dampak negatif ataukah positif???. Menurut sebagain orang, kartun adalah sebuah
hiburan, tontonan yang menarik dimana jika diri anda sedang merasa jenuh pasti
anda akan tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan kartun kesukaan anda. Mungkin
bagi orang yang sudah dewasa mengganggap kartun hanya sebuah hiburan semata,
namun taukah anda dampaknya terhadap anak kecil yang baru mengenal film kartun.
Dari sekian banyak kartun tidak semua kartun membawa hal positif untuk anak
kecil, justru malah kebalikannya. Contohnya saja film kartun Tom And Jerry dan
Power Ranggers. Film kartun tersebut memang sangat asyik, lucu, menenggangkan,
seru dan lai-lain. Namun itu semua dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan
anak karena seorang anak akan meniru tingkah laku atau perbuatan dari film
kartun yang di favoritkan. Misalnya suka berkelahi dengan temannya akibat
meniru dari film kartun Power Ranggers. Kemudian suka usil, jail, suka ngledekin temannya, dan lain
sebagainya yang meniru dari tokoh kartun Tom And Jerry. Lalu bagaimana pendapat
orangtua yang melihat anaknya seperti itu, melarangnya kah untuk menyaksikan
film kartun, atau dengan cara yang lainnya???. Mungkin disini orangtua harus
bertindak agar anaknya tidak meniru perbuatan yang tidak baik akibat meniru
tokoh kartun kesukaannya. Orangtua harus mengawasi anaknya dalam menonton film,
tidak hanya film kartun saja tapi film yang lainnya juga. Orangtua juga harus
memberikan didikan yang baik, menunjukkan ini yang baik dan itu yang buruk,
sehingga anak menjadi tau bahwa itu perbuatan baik dan buruk.
Kumpulan kata mengenai persahabatan
Sahabat
bukan mereka yang menghampirimu ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu
ketika seluruh dunia menjauh.
Tak
ada yang sempurna, sahabatpun pernah berbuat salah, tapi kamu selalu temukan
sebuah alasan tuk maafkan mereka.
“Sahabat
yang baik adalah orang yang sangat kita percayai dan membuat kita tenang
bersamanya. Dia menjadi tempat berbagi kelelahan, berbagi kesedihan dan tidak
pernah menjual rahasia diri kita”
Siapa
yang ingin bersama kamu pada saat tiada satupun yang dapat kamu berikan??.
Merekalah sahabat-sahabat kamu.
“Sahabat
adalah dia yang tahu kekuranganmu, tapi menunjukkan kelebihanmu. Dia yang tahu
ketakutanmu, tapi menunjukkan keberanianmu.”
“Sesuatu
yang baik, belum tentu benar. Sesuatu yang benar, belum tentu baik. Sesuatu
yang bagus, belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga atau berguna, belum
tentu bagus.”
“Sahabat
selalu ada untukmu, ketika kamu punya masalah. Bahkan terkadang memberi saran
yang bodoh hanya tuk lihat kamu tertawa.”
“Teman itu seperti bintang tak selalu nampak tapi
selalu ada dihati, Sahabat akan selalu menghampiri ketika seluruh dunia menjauh
Karena persahabatan itu seperti tangan dengan mata Saat tangan terluka, mata
menangis Saat mata menangis, tangan menghapusnya”
Suku Mentawai
Di provinsi
Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak keunikan yaitu
Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri
dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam
beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan
bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut
kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari
satu suku dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang
kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa suku. Secara
geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak
kepulauan Mentawai dari Pantai Padang kurang
lebih 100 km. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana
di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari
kayu pohon, arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai
banyak yang tinggal di daerah kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman
meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai
lima wilayah yang disebut perumaan,
yang berpusat pada satu rumah adat yang besa. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah panjang Uma mencapai hingga 25 m dan lebarnya
berkisar 10 m. Kerangka Uma terbuat
dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit
kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan
pesta adat bagi anggota-anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan
kekerabatan menurut adat.
Menurut agama
tradisional Mentawai yaitu Arat
Sabulungan (arat berarti adat
sedangkan sabulungan berarti bulu)
seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari
tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan
tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep
kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan
keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu
keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Upacara agama dikenal
dengan sebagai punen, puliaijat dimana harus dilakukan secara bersamaan
dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin
oleh para sikerei yang dapat
berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh
makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang
banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga
mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula
berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian. Kepercayaan
tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan
mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun.
Bagaimanapun juga,
sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan
cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan
tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi
tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan, ini terlihat
dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai yang para lelakinya
mengenakan Kabit yakni penutup bagian
tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas
dibiarkan telanjang. Sedangkan untuk para wanita, mereka menutup tubuh
bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk
seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia
hingga berbentuk seperti baju.
Kemudian hukum
adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan dimana masyarakat
Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung,
perbukitan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin bahwa lakokaina ini sangat berperan dalam
mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan
kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang
dan membangun sebuah uma maka biasanya mereka melakukan secara bersama-sama
oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap
keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian
dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai
melaksanakan kegiatan atau upacara.
Masyarakat Mentawai
bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma".
Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar
yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh
makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok
patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang
sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan
perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang
sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena
peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap
anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali
"sikerei" (dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat
menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Masyarakat Mentawai
memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam
berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat
tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang
tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri. Dalam berladang,
khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga menggunakan
peralatan-peralatan tertentu. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam
menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga
sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara buruan.
Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan
masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.
Tingkeban dalam Adat Jawa dan Agama Buddha
Mungkin sudah tidak asing
lagi bagi semua orang khusunya masyarakat jawa. Siapa yang tidak tahu dengan
kata tujuh bulan kandungan atau dalam bahasa jawa banyak orang yang menyebutnya
dengan kata “Tingkeban” atau “Mitoni”. Pasti banyak orang yang telah mengetahui
tentang tingkeban itu sendiri. Namun sebenarnya apakah tingkeban itu yang
sesungguhnya?. Ya tingkeban adalah salah
satu tradisi atau kebudayaan turun temurun yang ada di Indonesia dengan adat
masing-masing dari daerahnya. Tingkeban atau mitoni berasal dari kata pitu yang
berarti tujuh, di mana pada usia kehamilan ke tujuh bulan dan pada kehamilan
yang pertaman kali tradisi mitoni ini di lakukan. Makna dari tradisi ini adalah
pendidikan, bukan saja setelah dewasa namun ketika sudah ada benih yang tertanam
di dalam rahim seorang ibu itu sendiri.
Tradisi ini biasanya dilakukan
pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama seperti tanggal 3,5,7,9,13, atau 15
bulan jawa, dan dilaksanakan di kiri atau di kanan rumah yang menghadap kearah
matahari terbit. Hakekat yang mendasar dari tradisi tingkeban ini yaitu suatu
ungkapan syukur serta permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan
ketentraman, dan biasanya diungkapkan dalam bentuk lambang yang memiliki makna
tersendiri.
Konon ceritanya tingkeban
berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb yang merupakan istri
dari Ki Sedya, yang mempunyai 9 orang anak, namun dari ke-9 anaknya tersebut meninggal dunia
pada usia dini. Berbagai usaha telah dijalani namun tidak membuahkan hasil.
Hingga suatu saat mereka memberanikan dirinya untuk menghadap kepada Kanjeng
Sinuwun Jayabaya. Kemudian Kanjeng Jayabaya memberi nasihat agar menjalani
beberapa ritual. Sebagai syarat utama, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada
(menyembah Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyuk dan senantiasa berbuat baik welas
asih kepada sesama). Selain itu juga harus mensucikan diri dengan mandi
menggunakan air suci yang berasal dari 7 sumber air dan berpasrah diri lahir
batin serta memohon kepada Gusti Allah untuk kesehatan dan kesejahteraan si
bayi.
Kemudian tidak lupa juga
menyertakan sesaji seperti takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading
yang masih muda. Setelah melalui serangkaian ritual yang dianjurkan oleh
Kanjeng Suwun Jayabaya , akhirnya Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat
momongan yang sehat dan berumur panjang. Kemudian untuk mengingat nama Niken
Satingkeb yang telah melewati serangkaian ritual yang telah ditiru oleh para
generasi selanjutnya hingga sekarang maka diberi nama dengan Tingkeban, dengan
harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan,
hingga si anak tumbuh dengan dewasa.
Selain tingkeban masih
terdapat tiga tradisi lagi yang harus dilaksanakan selama masa mengandung yaitu
tradisi Neloni (tiga bulan dari masa mengandung), Tingkeban atau Rujakan (enam
bulan dari masa kehamilan), dan Procotan (delapan bulan dari masa kehamilan).
Namun seiring dengan perkembangan zaman, ketiga tradisi ini diringkas secara
pelaksanaannya menjadi satu yaitu Tingkeban. Walupun diringkas secara
pelaksanaannya, tetapi ubo rampea atau piranti yang harus disiapkan dari
tiap-tiap ritual tetap harus disediakan. Piranti itu sendiri seperti takir
plontang, jajanan pasar, berbagai macam jenang, buah, kembang setaman, mayang,
janur, daun dadap, daun beringin, dan masih banyak lagi piranti lainnya. Sebelum
usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon dari orang tua bayi harus menentukan
hari yang baik sesuai dengan itungan jawa. Menurut itungan jawa, hari yang baik
itu yang memiliki neptu genap yang jumlahnya 12 atau 16.
Upacara ini dimulai dengan
acara kenduri yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain.
Semua piranti neloni dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti
dihidangkan, para sesepuh desa menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya
upacara ini dan menjelaskan makna satuper satu dari makanan yang di hidangkan.
Dengan sautan dari para undangan yaitu dengan kata “nggeh” disetiap akhir
kalimat yang diucapkan oleh para sesepuh, maka satuper satu makanan yang
dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan doa, dan yang
terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah
tersedia.
Selesai upacara yang
pertama selesai, maka menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban.
Prosesi tingkeban ini yang penulis anggap paling sakral karena mulai dari hari
sampai jam pelaksanaanya ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Sebelum acara
dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarik batik di tengah rumah
shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabit besar
diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah
telah menunggu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak. Setelah
semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat (suami-istri)
masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jarik yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca
beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk diucapkan oleh shohibul
hajat. Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur
mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama, ambeg utama, yen lanang kadya
Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut
keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang.
Sesampainya didepan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit yang
dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara
brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari
Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut
calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan
mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain calon nenek
menumbuk bumbu rujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir
dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui
pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti
busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibu dengan tujuh jenis kain batik
dengan motif yang berbeda. Ibu akan
memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki
kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Bumbu rujak yang telah
dihaluskan oleh calon nenek tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera
dicampur dengan beberapa buah-buahan dan dihidangkan kepada para undangan. Tak
lama berselang dari prosesi inti maka langsung melanjutkan prosesi terakhir
yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi neloni,
yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh
desa dengan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat sesepuh tersebut
dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan
hidangan yang ada.
Adapun rangkaian dalam acara tingkeban
diantaranya:
1. Pembacaan
Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
yang dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada
orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari
7 sumber dan dilakukan oleh 7 orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk
siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya
diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu di pakaikan kain 7 warna, yang
melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam
kandungan.
4. Pantes-pantes
(Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu
dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke
enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Sedangkan
busana yang ke-7 melambangkan bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak
memikirkan hal yang bersifat keduniawian dan lebih baik berpenampilan
bersahaja.
5. Tigas
Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya
(dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong oleh calon
ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi.
Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak
bala.
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, 2 buah kelapa
gading muda yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara
Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui
perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini
adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh
wayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain
yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang
mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup
bulan. Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan
“Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8. Dhahar
Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon
ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas
makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah
supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh
dengan sehat.Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun
tradisional) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi
kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Agama Buddha sebenarnya
terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama adalah pelajaran kebenaran yang
diberikan oleh Sang Buddha Gotama yang disebut Buddha Dhamma. Bagian kedua
adalah tradisi yang berkembang pada suatu masyarakat tertentu. Apabila berbicara
tentang relevansi Agama Buddha dalam menghadapi kemajuan zaman, hendaknya dapat
membatasi diri membicarakan tentang Buddha Dhamma, bukan tentang tradisi.
Tradisi dapat berlainan dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat
lainnya. Membahas masalah tradisi tidak akan menemui titik terang.
Masing-masing akan mempertahankan pendapatnya.
Padahal, kebenaran Dhamma
bukan pada tradisi itu. Pembahasan Buddha Dhamma, di mana pun juga, oleh siapa
pun juga, hasilnya akan dan harus tetap sama. Hal paling pokok dalam Buddha
Dhamma atau Ajaran Sang Buddha adalah Empat Kesunyataan Mulia. Bila Buddha
Dhamma diibaratkan suatu sistem pendidikan tingkat perguruan tinggi maka Empat Kesunyataan
Mulia adalah kurikulum dasarnya. Hal ini dapat terjadi karena selama Sang
Buddha mengajarkan Dhamma sampai 45 tahun lamanya, pokok ajaran Beliau selalu
sama, Empat Kesunyataan Mulia. Hingga saat inipun pokok pelajaran Agama Buddha
tetap dan berlaku universal. Bahkan dimasa yang akan datangpun juga sama.
Sampai munculnya Buddha yang akan datangpun pasti akan mengajarkan hal yang
sama. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu dapat
dijadikan tolak ukur untuk membedakan Agama Buddha dengan berbagai macam
tradisi.
Dalam Agama Buddha upacara
untuk memperingati tujuh bulan kandungan biasanya mengundang warga setempat
untuk menghadiri upacara atau selamatan tujuh bulan kandungan. Dalam peringatan
tersebut keluarga menyiapkan tumpeng sebagai syarat upacara tujuh bulan
kandungan, setelah selesai upacara tersebut biasanya tuan rumah yang mengadakan
peringatan mengundang umat-umat dari vihara lain dan mengundang umat sekitar
yang beragama Buddhis untuk membacakan doa atau parita suci. Dalam upacara
tujuh bulanan tersebut biasanya mengundang Bhikkhu untuk meberi doa, setelah
selesai membacakan doa atau parita-parita suci biasanya umat diberi makanan
ringan dan warga tersebut sambil berbincang-bincang sambil makan yang telah di
sediakan oleh tuan rumah.
Parita yang dibacakan
dalam upacara memperingati tujuh bulan kandungan seperti: Pubbabhaganamakara, Tisarana, Buddhanussati, Dhammanusati,
Sanghanussati, Saccakiriya Gatha, Abhaya Paritta atau Pattumo dana Paritta,
Sumangala Gatha II (parita memercikan air pemberkahan).
Jadi upacara untuk
memperingati tujuh bulan kandungan ialah agar bayi yang berada di dalam
kandungan diberi keselamatan, agar bayi dan ibunya sehat dan tidak ada halangan
apa pun dalam mengandung. Di dalam pelaksanaan upacara tersebut dibuatkan
tumpeng dan tumpengtersebut di beri doa
dan dibagikan ke warga sekitar yang telah diundang untuk menghadiri upacara
tujuh bulan kandungan. Dalam agama Buddha tidak ada larangan dalam tradisi
karena merupakan adat dari masing-masing setiap suku.
Referensi
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna.
Yogyakarta:Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
Gunasasmita. Kitab
Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 2009
Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama
Minggu, 18 Januari 2015
Gue Sadar ini Vipaka
Manusia
itu pasti tak luput dari yang namanya dosa, setiap manusia pasti pernah
melakukan kesalahan baik itu kesalahan besar ataupun kesalahan kecil, masalah
besar atau kecil pasti akan menghasilkan suatu hasil yang akan di dapat entah
itu pada kehidupan saat ini maupun kehidupan yang akan datang. Contohnya ajha
ya kayak gue ini lah, mungkin ini semua adalah hanya bagian dari hasil
perbuatan gue yang udah pernah gue lakuin entah itu di kehidupan masa lalu atau
di kehidupan sekarang ini. Sejujurnya gue udah nggak betah dan nggak tahan
ngadepiin semua masalah ini yang datang bertubi-tubi tapi ya mau gimana lagi gue
nggak bisa lari dan ngehindar dari masalah ini, cukup dengan menyadarinya saja
dan anggep ajha ini adalah jalan buat menuju kesuksesan dan kedewasaan buat
diri gue. Awal mulanya gua sangat benci dengan ini semua, kenapa ini semua
harus terjadi sama gue, gue nggak bisa trima ini semua, yang sampe pada
akhirnya gua sadar bahwa ini adalah bagian dari vipaka gue. Gue kenal apa itu
vipaka sejak gue blajar mendalami agama Buddha itu sendiri. Sebelumnya gue
nggak ngerti tentang itu semua, yang gue lakuin dulu adalah gue nggak bisa
trima akan semua ini. Mungkin bagi loe semua yang menyalahkan keadaan loe saat
ini adalah salah besar karna keadaan yang saat ini sedang dijalani merupakan
bagian dari vipaka atau hasil dari perbuatan baik di masa lalu maupun masa
sekarang. :)
Langganan:
Postingan (Atom)