Selasa, 20 Januari 2015

Suku Mentawai

Di provinsi Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak keunikan yaitu Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari satu suku dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa suku. Secara geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak kepulauan Mentawai dari Pantai Padang kurang lebih 100 km.  Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari kayu pohon, arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai banyak yang tinggal di daerah kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besa. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah panjang Uma mencapai hingga 25 m dan lebarnya berkisar 10 m. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat.
Menurut agama tradisional Mentawai yaitu Arat Sabulungan (arat berarti adat sedangkan sabulungan berarti bulu) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Upacara agama dikenal dengan sebagai punen, puliaijat dimana harus dilakukan secara bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian. Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun. 
Bagaimanapun juga, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan, ini terlihat dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai yang para lelakinya mengenakan Kabit yakni penutup bagian tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas dibiarkan telanjang.  Sedangkan untuk para wanita, mereka menutup tubuh bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia hingga berbentuk seperti baju.
Kemudian hukum adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan dimana masyarakat Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung, perbukitan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin bahwa lakokaina ini sangat berperan dalam mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang dan membangun sebuah uma maka biasanya mereka melakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan atau upacara.
Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma". Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali "sikerei" (dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.

Masyarakat Mentawai memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri. Dalam berladang, khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga menggunakan peralatan-peralatan tertentu.  Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara buruan. Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.

1 komentar:

  1. Arat Sabulungan tidak dapat diartikan dengan Agama mbak. seperti yang telah anda paparkan di atas tadi arat adalah adat, dan sabulungan adalah bulu. mohon koreksi lagi ya mbak. Arat Sabulungan itu upacara adat. Arat sabulungan dianggap sebagai agama tradisional Mentawai supaya arat sabulungan ini bisa dihapuskan setelah masuknya agama kristen yang disebut Zending yang beberapa kali dicoba tetapi tidak mudah diterima oleh Masyarakat Mentawai. Hal itu diperkuat dengan rezim Soeharto yang memerintahkan supaya orang Mentawai meninggalkan tradisi-tradisi dan Upacara adat Mentawai. Mohon baca Buku mas Darmanto dan Abidah B. Setyowati: Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. Saya sebagai oang pribumi, lebih setuju pandangan mereka terhadap orang Mentawai. Dalan buku tersebut mengulas tentang arat sabulungan juga.

    Terimakasih mbak

    Tetap menulis ya mbak. Senang membaca tulisan anda.

    BalasHapus