Di provinsi
Sumatera Barat terdapat satu suku yang memiliki banyak keunikan yaitu
Mentawai. Suku Mentawai terdapat di kepulauan Mentawai yang terdiri
dari pulau-pulau yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam
beberapa pandangan tentang asal usul masyarakat Mentawai, ada yang mengatakan
bahwa masyarakat Mentawai berada dalam garis orang polisenia. Menurut
kepercayaan masyarakat Siberut, nenek moyang masyarakat Mentawai berasal dari
satu suku dari daerah Simatalu yang terletak di Pantai Barat Pulau Siberut yang
kemudian menyebar ke seluruh pulau dan terpecah menjadi beberapa suku. Secara
geografis, letak kepulauan Mentawai berhadapan dengan Samudera Hindia. Jarak
kepulauan Mentawai dari Pantai Padang kurang
lebih 100 km. Secara turun temurun, suku Mentawai hidup sederhana
di dalam sebuah Uma. Uma merupakan rumah yang terbuat dari
kayu pohon, arsitektur bangunan rumah Mentawai berbentuk panggung.
Masyarakat Mentawai
banyak yang tinggal di daerah kampung yang terletak di pinggir sungai pedalaman
meski ada yang berada di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai
lima wilayah yang disebut perumaan,
yang berpusat pada satu rumah adat yang besa. Suatu Uma merupakan bangunan yang besar dan megah panjang Uma mencapai hingga 25 m dan lebarnya
berkisar 10 m. Kerangka Uma terbuat
dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit
kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan
pesta adat bagi anggota-anggotanya yang semuanya masih terikat hubungan
kekerabatan menurut adat.
Menurut agama
tradisional Mentawai yaitu Arat
Sabulungan (arat berarti adat
sedangkan sabulungan berarti bulu)
seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari
tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan
tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep
kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan
keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu
keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
Upacara agama dikenal
dengan sebagai punen, puliaijat dimana harus dilakukan secara bersamaan
dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin
oleh para sikerei yang dapat
berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh
makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang
banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga
mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, maka sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula
berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian. Kepercayaan
tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan
mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun.
Bagaimanapun juga,
sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan
cepat dan sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan
tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi
tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai.
Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Mentawai menerapkan prinsip kesederhanaan, ini terlihat
dari cara berpakaian tradisional masyarakat Mentawai yang para lelakinya
mengenakan Kabit yakni penutup bagian
tubuh bawah yang hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara bagian tubuh atas
dibiarkan telanjang. Sedangkan untuk para wanita, mereka menutup tubuh
bagian bawah dengan memakai untaian pelepah daun pisang hingga berbentuk
seperti rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia
hingga berbentuk seperti baju.
Kemudian hukum
adat masyarakat Mentawai terdapat pandangan mengenai hutan dimana masyarakat
Mentawai memiliki kepercayaan bahwa kawasan seperti hutan, sungai, gunung,
perbukitan, laut, dan rawa memiliki penjaga yaitu mahluk halus yang disebut lakokaina. Mereka yakin bahwa lakokaina ini sangat berperan dalam
mendatangkan, sekaligus menahan rezeki.
Dalam melakukan
kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang
dan membangun sebuah uma maka biasanya mereka melakukan secara bersama-sama
oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap
keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll) yang kemudian
dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai
melaksanakan kegiatan atau upacara.
Masyarakat Mentawai
bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut "uma".
Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar
yang disebut juga "uma" yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh
makanan, hasil hutan dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok
patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang
sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walaupun telah terjadi hubungan
perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang
sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena
peristiwa ini. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap
anggota dewasa dalam uma mempunyai kedudukan yang sama kecuali
"sikerei" (dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat
menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
Masyarakat Mentawai
memiliki dua mata pencaharian utama, yaitu berburu dan berladang. Dimana dalam
berburu mereka menggunakan peralatan seperti busur dan panah, dimana alat-alat
tersebut dibuat sendiri dari kayu-kayu yang ada di hutan dengan cara-cara yang
tradisional dan dilumuri dengan racun buatan mereka sendiri. Dalam berladang,
khususnya dalam berladang sagu, suku Mentawai juga menggunakan
peralatan-peralatan tertentu. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, dalam
menanam sagu harus disertai dengan tahapan-tahapan tertentu. Seorang warga
sedang berburu dengan busur dan panah, sambil mencoba mendengarkan suara buruan.
Alat-alat serta sistem teknologi mereka pun dalam berladang dapat dikatakan
masih tradisional seperti: tegle, suki, lading, kampak.
Arat Sabulungan tidak dapat diartikan dengan Agama mbak. seperti yang telah anda paparkan di atas tadi arat adalah adat, dan sabulungan adalah bulu. mohon koreksi lagi ya mbak. Arat Sabulungan itu upacara adat. Arat sabulungan dianggap sebagai agama tradisional Mentawai supaya arat sabulungan ini bisa dihapuskan setelah masuknya agama kristen yang disebut Zending yang beberapa kali dicoba tetapi tidak mudah diterima oleh Masyarakat Mentawai. Hal itu diperkuat dengan rezim Soeharto yang memerintahkan supaya orang Mentawai meninggalkan tradisi-tradisi dan Upacara adat Mentawai. Mohon baca Buku mas Darmanto dan Abidah B. Setyowati: Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. Saya sebagai oang pribumi, lebih setuju pandangan mereka terhadap orang Mentawai. Dalan buku tersebut mengulas tentang arat sabulungan juga.
BalasHapusTerimakasih mbak
Tetap menulis ya mbak. Senang membaca tulisan anda.